Elga-Ahmad

Blog pribadi. Seorang pencinta bahasa & kopi hitam ☕
#Didactique #FLE #BIPA #Interculturel #Grammaire

Ketika menyambut pasien yang sedang berduka, seorang psikiater akan menggali keilmuan yang dimiliki. Dia akan mengulik semua teori duka yang...

Ketika menyambut pasien yang sedang berduka, seorang psikiater akan menggali keilmuan yang dimiliki. Dia akan mengulik semua teori duka yang pernah dipelajari di masa kuliah dulu dan mengingat pengalaman dari pasien-pasien sebelumnya. Kemudian, dia menyintesis itu untuk membantu si pasien yang sedang berduka di hadapannya. Tapi, ketika Andreas—seorang psikiater—kehilangan anaknya, dia melakukan hal yang berbeda. Dia melemparkan semua teori tersebut ke luar jendela dan memutuskan untuk mencari makna tentang mengapa ini semua terjadi. Dalam pengalamannya, dia menemukan bahwa duka bisa dilalui dengan mencuci piring kotor yang menumpuk di dapur.

Klik Gramedia untuk membeli buku ini.

Sumber: Gramedia

Buku ini adalah proses Andreas memaknai kehilangan besar dalam hidupnya. Diceritakan santai dengan tambahan sedikit bumbu humor gelap, buku ini memuat panduan bermanfaat yang langsung bisa diaplikasikan dalam hidup, seperti: “Tutorial Mencuci Piring”, “Tutorial Menyusun Puzzle”, dan tentunya “Tutorial Menerima Kematian Seorang Anak”. “Hampir semua orang mempertanyakan: apa hubungannya antara duka dan mencuci piring? Jawaban saya adalah duka itu seperti mencuci piring, tidak ada orang yang mau melakukannya, tapi pada akhirnya seseorang perlu melakukannya.”

Selling Point:
ditulis psikiater, membahas kedukaan melalui story telling yang mudah dipahami

Profil Penulis:
dr. Andreas Kurniawan, SP.KJ adalah seorang psikiater lulusan Universitas Indonesia yang di media sosial dikenal sebagai "psikiater yang suka bercanda. Pengalaman kehilangan ayah dan anaknya membuat dr. Andreas menyelami psikoterapi untuk kedukaan dan kehilangan. Buku ini adalah sebuah renungan yang menjadi caranya untuk memaknai kehilangan.

Buku ini dapat dipesan di Gramedia.

Di Indonesia, seperti juga di negara lain, basa-basi memiliki akar yang kuat dalam tradisi sopan santun dan norma sosial. Namun, seiring den...

Di Indonesia, seperti juga di negara lain, basa-basi memiliki akar yang kuat dalam tradisi sopan santun dan norma sosial. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pergeseran nilai, beberapa bentuk basa-basi yang dahulu dianggap sopan kini dipertanyakan oleh generasi muda. Contoh nyata adalah pertanyaan semacam “Kapan akan menikah?” atau “Jangan lupa bawa oleh-oleh, ya?” yang kerap dilontarkan di lingkungan keluarga atau pertemuan sosial.


basa-basi anak muda
Foto oleh Afta Putta Gunawan

Keluhan mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut belakangan ini sering muncul di media sosial. Para netizen muda menganggapnya tidak lagi relevan dengan gaya hidup saat ini dan bahkan terkesan mengatur hidup mereka. Kritik ini mencerminkan adanya perubahan kebutuhan komunikasi di era digital ketika individualitas dan privasi lebih dihargai.


Selain itu, perkembangan urbanisasi dan globalisasi juga memicu munculnya gaya komunikasi baru yang menekankan keautentikan dan spontanitas, berbeda dengan ritual komunikasi yang kaku di masa lalu.


Basa-basi atau obrolan ringan (small talk) sering dianggap remeh yang hanya melibatkan topik sepele. Namun, di balik kesederhanaannya terdapat fungsi sosial yang sangat penting. Sejak Bronisław Malinowski memperkenalkan konsep komunikasi fatik—yaitu komunikasi yang bertujuan membangun ikatan sosial melalui pertukaran kata-kata yang tampak tidak informatif—basa-basi telah menjadi elemen kunci dalam interaksi antarmanusia.


Obrolan ringan ini berperan sebagai perekat hubungan sosial yang membantu menciptakan rasa kebersamaan, mengurangi keheningan yang membuat canggung, dan bahkan memfasilitasi transisi menuju diskusi yang lebih dalam.


Di era modern, terutama dengan kemunculan teknologi digital dan globalisasi, praktik basa-basi mengalami transformasi. Bentuk-bentuk tradisional yang pernah dianggap sopan dan relevan kini sering dipertanyakan, terutama oleh generasi muda.

 


Antara Universalitas dan Kekhasan Budaya

Meskipun tampak remeh, basa-basi merupakan kegiatan metakomunikatif yang tidak hanya berfungsi untuk mengisi kekosongan atau menghindari keheningan, tetapi juga sebagai alat untuk membangun dan memelihara hubungan sosial. Secara universal, kebutuhan untuk berkomunikasi dan merasakan kehangatan hubungan antarpribadi merupakan aspek fundamental dalam kehidupan manusia. Berbasa-basi dapat mempermudah terbentuknya interaksi awal dengan memberikan sinyal bahwa kedua pihak memiliki niat untuk bersosialisasi secara positif.


Di sisi lain, bentuk, isi, dan cara penyampaian basa-basi sangat dipengaruhi oleh konteks budaya dan sejarah. Misalnya, di dalam beberapa budaya, topik-topik tertentu seperti cuaca, olahraga, atau kegiatan akhir pekan sering dijadikan pembuka percakapan. Sedangkan di budaya lain, pertanyaan personal yang terlalu mendalam bisa dianggap tidak sopan.


Di Indonesia, tradisi komunikasi yang kuat dan nilai-nilai kesopanan memiliki karakteristik tersendiri. Meskipun ada norma untuk saling menyapa dan bertanya kabar, generasi muda kini mulai mempertanyakan relevansi beberapa ungkapan yang selama ini dianggap formal atau bahkan mengandung stereotipe. Mereka kini cenderung tidak setuju lagi mendapat pertanyaan basa-basi, seperti “Mau pergi ke mana?”–dari seorang penumpang yang duduk di jok sebelah dalam angkutan umum, “Lagi menyapu, ya?”–yang dilontarkan seseorang pada saat mereka tengah membersihkan halaman rumah, dan sebagainya.

 

Baca juga: Seni berbasa-basi supaya tetap relevan dengan perbedaan budaya dan perubahan zaman


Basa-basi sebagai Alat Bekerja Sama

Selain fungsi sosial dalam konteks personal, basa-basi memiliki peran penting dalam dunia profesional dan komersial. Dalam lingkungan kerja, obrolan ringan dapat menciptakan suasana yang lebih ramah dan kolaboratif, sehingga meningkatkan kepercayaan di antara rekan sejawat.


Di tempat kerja, basa-basi sering digunakan sebagai pemecah kebekuan (ice breaker) pada awal pertemuan atau dalam sebuah rapat resmi. Dengan memberikan kesempatan bagi para kolega untuk saling mengenal secara informal, suasana kerja menjadi lebih kondusif dan tim dapat bekerja sama dengan lebih harmonis.


Dalam hubungan bisnis, basa-basi berfungsi sebagai alat untuk membangun loyalitas pelanggan. Ketika pelaku usaha memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara personal dan hangat, mereka dapat meningkatkan kepercayaan pelanggan dan membuat mereka merasa lebih nyaman. Pada gilirannya, ini akan membantu transaksi berhasil dan menjalin hubungan jangka panjang dengan pelanggan.


Teknologi digital telah mengubah cara kita berkomunikasi. Basa-basi kini juga terjadi melalui media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform video call. Meski formatnya berubah, esensi untuk menciptakan hubungan yang menyenangkan dan membangun jaringan tetap sama.


Maka, basa-basi adalah fenomena komunikasi yang jauh lebih kompleks daripada sekadar obrolan ringan. Basa-basi merupakan kegiatan metakomunikatif yang mendasar untuk membangun ikatan sosial dan menjaga kohesi dalam interaksi antarindividu.


Strategi komunikasi yang adaptif dan sensitif terhadap perubahan generasi menjadi kunci untuk memastikan bahwa basa-basi tetap relevan dan mampu memenuhi kebutuhan interaksi sosial di masa depan. Dengan memahami evolusi praktik komunikasi ini, kita dapat merancang pendekatan yang lebih inklusif dan efektif dalam berbagai situasi—baik dalam kehidupan pribadi, profesional, maupun lintas budaya.


Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, fleksibilitas dalam berkomunikasi menjadi kompetensi utama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyesuaikan bentuk dan isi basa-basi dengan dinamika zaman. Mengganti pertanyaan atau ungkapan yang terkesan kaku dengan yang lebih relevan dan bersahabat, terutama dalam konteks interaksi antargenerasi dan antarbudaya, akan membantu mengurangi kesalahpahaman dan memperkuat hubungan sosial.


Sebagai alternatif, alih-alih mengajukan pertanyaan “Kapan akan menikah” kepada keponakan yang masih melajang, kita bisa bertanya “Apa rencanamu tahun ini?”. Frasa ini bersifat terbuka dan menghormati pilihan lawan bicara untuk berbagi informasi pribadi atau tidak.   


Daripada meminta teman “Jangan lupa bawa oleh-oleh, ya?”, lebih baik berkata “Selamat liburan. Ditunggu cerita liburannya.” Dengan mengganti fokus dari barang (oleh-oleh) ke kisah perjalanan, pertanyaan ini mengedepankan nilai momen dan pengalaman–sesuai dengan gaya hidup anak muda yang lebih menghargai cerita daripada benda fisik.


Ketimbang “Mau pergi ke mana?”, lebih baik diganti dengan “Ada rencana seru hari ini?” yang dapat mengundang lawan bicara untuk berbagi cerita soal kegiatannya atau destinasi tujuan tanpa harus menyebut “pergi” secara eksplisit.


Kita bisa bertanya, “Wah, sedang sibuk, ini?”–yang lebih informal, tetapi positif–sebagai pengganti pertanyaan “Lagi menyapu, ya?”.


Pertanyaan alternatif ini pada dasarnya bermaksud lebih menghormati privasi dan otonomi orang lain. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat lebih terbuka sehingga memungkinkan percakapan berlangsung lebih substansial dan tidak terlalu dangkal. Dengan kata lain, basa-basi modern berfokus pada pembentukan hubungan nyata daripada hanya mengisi ruang percakapan. Sebaliknya, pertanyaan basa-basi konvensional mungkin saat ini dianggap mengganggu dan tidak berarti lagi, seolah pepesan kosong.  


Pada akhirnya, basa-basi bukan sekadar obrolan ringan semata. Ia merupakan cerminan nilai, norma, dan identitas budaya yang terus berubah. Denagn demikian, basa-basi tetap menjadi alat yang efektif dalam membangun dan memelihara hubungan antarindividu.

Gunakan format APA berikut jika kamu mengutip tulisan ini:
Prayoga, E. A. (2025, March 03). Basa-basi Anak Muda: Menentang Konvensi, Membangun Koneksi. Blog Elga Ahmad. Diakses pada [tuliskan tanggal akses], dari https://blog.elga-ahmad.com/2025/02/dubbing-prancis.html.


Sulih suara telah menjadi bagian tak terpisahkan dari industri televisi di banyak negara, termasuk di Prancis—juga di Indonesia. Praktik ini...

Sulih suara telah menjadi bagian tak terpisahkan dari industri televisi di banyak negara, termasuk di Prancis—juga di Indonesia. Praktik ini sering kali dipilih untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Media Consulting Group, dalam risetnya pada 2007 silam, menunjukkan bahwa program yang disiarkan dalam versi asli dengan takarir (subtitle) dapat mengalami penurunan jumlah penonton sekitar 30%. Hal ini menandakan bahwa hampir sepertiga penonton mungkin tidak dapat memahami program dalam bahasa asing.


sulih suara
Foto oleh Pixabay


Sulih suara merupakan kebutuhan yang tidak bisa diabaikan, terutama sejak awal kehadiran sinetron impor—disebut juga 'telenovela'—di layar kaca, versi sulih suara telah menjadi standar penayangan. Menurut Thierry Le Nouvel, dalam bukunya Le Doublage et ses métiers, sekitar 60% produksi siaran televisi adalah produksi asing. Jika semua program tersebut disiarkan dalam bahasa aslinya, banyak penonton akan merasa kesulitan untuk mengikuti.


Sejarah sulih suara di Prancis, berakar dari kebutuhan untuk menyederhanakan komunikasi. Di era awal film bersuara, film dibuat dalam berbagai bahasa, termasuk juga di Prancis. Ketika televisi mulai berkembang, sulih suara menjadi solusi untuk mengatasi hambatan bahasa.


Baca juga: 

Namun, mengapa beberapa negara seperti Inggris dan negara-negara Skandinavia lebih memilih versi asli dengan subtitle? Menurut Thierry Le Nouvel, hal ini berkaitan dengan kedekatan budaya dengan bahasa Inggris. Negara-negara tersebut memiliki budaya yang lebih terbuka terhadap bahasa Inggris, sementara negara-negara Latin, termasuk Prancis, cenderung lebih nyaman dengan bahasa lokal.


Di Prancis, kebiasaan menonton program yang dialihsuarakan sudah dianggap lumrah dan menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan. Menayangkan program dalam versi asli bisa dianggap sebagai langkah yang berisiko secara rating penonton dan finansial. Meskipun demikian, media seperti Netflix dan beberapa platform streaming lainnya mulai menawarkan opsi bahasa asli dengan subtitel. Ini dapat memberikan pilihan kepada penonton yang lebih menyukai versi asli.


Kualitas sulih suara di Prancis juga mengalami peningkatan. Seiring dengan semakin bertambahnya permintaan akan konten berkualitas, perusahaan-perusahaan sulih suara berusaha untuk meningkatkan standar mereka. Christel Salgues, penanggung jawab alih suara di TFI—dikutip dalam artikel Pierre Langalis—menyatakan bahwa saat ini, pemilihan aktor suara dilakukan dengan lebih hati-hati untuk memastikan kesesuaian dengan karakter yang diperankan.


Meski demikian, sulih suara sering kali mendapat kritik. Beberapa orang menganggapnya sebagai bentuk penyensoran karena dapat mengubah dialog asli. Namun, menurut para ahli, hal ini lebih terkait dengan penyesuaian budaya dan peraturan penyiaran lokal, misalnya, sensor terhadap konten yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial di masyarakat.


Dengan berkembangnya teknologi, pilihan untuk menonton program dalam bahasa asli semakin mudah. Sistem multi-bahasa atau VM mulai diterapkan yang memungkinkan penonton untuk memilih bahasa yang diinginkan. Meski demikian, mayoritas penonton Prancis masih lebih memilih versi sulih suara, sehingga menjadikan sulih suara tetap relevan.


Di masa depan, dengan semakin terhubungnya dunia melalui internet, mungkin akan terjadi perubahan dalam preferensi penonton. Namun, hingga saat ini, sulih suara tetap menjadi pilihan utama bagi banyak orang di Prancis. Ini bukan hanya tentang memahami dialog, tetapi juga tentang kenyamanan dan kebiasaan menonton yang telah terbentuk selama bertahun-tahun.

Gunakan format APA berikut jika kamu mengutip tulisan ini:
Prayoga, E. A. (2025, February 06). Sekilas tentang Sulih Suara di Prancis. Blog Elga Ahmad. Diakses pada [tuliskan tanggal akses], dari https://blog.elga-ahmad.com/2025/02/dubbing-prancis.html.


Agar penonton di berbagai negara bisa menikmati film-film impor tanpa hambatan bahasa asing, terutama yang ditayangkan di layar bioskop, di ...

Agar penonton di berbagai negara bisa menikmati film-film impor tanpa hambatan bahasa asing, terutama yang ditayangkan di layar bioskop, di media over-the-top (seperti Netflix, Prime Video, Disney+, dan sebagainya) maupun dalam format lainnya, terdapat empat teknik sinematografis yang lumrah dilakukan. 

cinema coming soon
Foto oleh Henry & Co.

Sulih suara seutuhnya (Dubbing): 
Teknik ini menggantikan suara asli dengan versi terjemahan, disinkronkan dengan gerakan bibir para aktor atau aktris. Hal ini memungkinkan penonton untuk memahami film dalam bahasa mereka sendiri tanpa harus membaca teks terjemahan pada takarir, tetapi terkadang dapat mengubah keaslian performa aslinya. 
Trek audio baru dalam bahasa kedua ditambahkan di atas audio asli, biasanya tanpa penyelarasan suara. Suara asli sering kali tetap terdengar di latar belakang, yang dapat membantu mempertahankan sebagian keaslian karya. Metode ini umumnya digunakan dalam film dokumenter. 
Terjemahan teks dialog ditampilkan pada layar, sehingga penonton dapat mendengar suara asli sambil membaca terjemahannya. Metode ini tidak terlalu mengganggu, tetapi mengharuskan penonton untuk dapat membaca dan mengikuti teks sambil menonton filmnya. Dalam bahasa Indonesia, teknik ini disebut dengan istilah "takarir". 
Berbeda dengan teknik lainnya, remake mengharuskan pembuatan ulang karya secara keseluruhan, mengadaptasi elemen budaya, konteks, dan terkadang bahkan plot agar sesuai dengan audiens yang baru. Pendekatan ini dapat membuat film menjadi lebih relevan bagi penonton tertentu, tetapi juga dapat menyimpang dari karya aslinya. 

Setiap teknik adaptasi sinematografis tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. 

Baca juga: 

Menurutmu, metode mana yang paling sesuai agar kamu bisa memanfaatkan sebuah film impor untuk mendukung pembelajaran bahasa asingmu? Selain alasan itu, teknik adaptasi mana yang kamu lebih sukai secara umum untuk menonton film buatan luar negeri? 

Gunakan format APA berikut jika kamu mengutip tulisan ini:
Prayoga, E. A. (2025, January 27). Menikmati Film Asing tanpa Hambatan: Teknik Adaptasi Bahasa . Blog Elga Ahmad. Diakses pada [tuliskan tanggal akses], dari https://blog.elga-ahmad.com/2025/01/menikmati-film-asing-tanpa-hambatan-bahasa.html.


Pada era digital saat ini yang ditandai dengan melimpahnya informasi di Internet, peran guru mengalami transformasi yang signifikan. Dua fen...

Pada era digital saat ini yang ditandai dengan melimpahnya informasi di Internet, peran guru mengalami transformasi yang signifikan. Dua fenomena yang mencuat adalah munculnya "guru badut" dan pentingnya kehadiran guru di media sosial (medsos), seperti di Instagram, TikTok, YouTube, dll. 


Guru badut

Meminjam sebutan yang dipakai Iman Zanatul Haeri dalam artikelnya di Kompas (28 Desember 2024), “Guru badut” merupakan istilah kritikan terhadap fenomena bahwa keceriaan dalam konten pembelajaran yang diunggah guru melalui akun medsos, menjadi sekadar reka adegan. Mirisnya, hal ini dikerjakan demi tuntutan administrasi guru semata, bukan sebagai metode pedagogis yang efektif untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar. Alhasil, kegiatan ini dianggap telah mengorbankan substansi pendidikan yang mereduksi peran guru dengan menjadikannya sebagai sosok penghibur–layaknya badut.


Tulisan opini saya ini hendak menyoroti tantangan yang dihadapi guru sebagai pendidik dalam menyesuaikan dirinya di tengah perkembangan medsos yang pesat dan perubahan perilaku siswa yang dinamis pada waktu yang bersamaan. Pendekatan yang terlalu berfokus pada hiburan tanpa substansi dapat merugikan proses pembelajaran, sementara mengabaikan medsos dapat membuat guru tertinggal dalam memanfaatkan teknologi untuk kepentingan pendidikan. 



Dua Peran Utama Guru di Media Sosial 

Terlepas dari sisi “guru badut” yang mengharuskan para pendidik untuk juga membagikan kegiatannya di jagat maya dengan tagar #MerdekaBelajar, di sisi lain, sebenarnya kehadiran para guru di berbagai jejaring sosial saat ini memang dianggap krusial dalam konteks pendidikan modern. Tak hanya tempat untuk berjoget di depan kamera, para guru dapat memandang medsos sebagai sebuah ruang kreativitas yang baru. 


1) Guru sebagai Verifikator Informasi

Saat ini, kebanyakan siswa terdaftar dan menggunakan medsos secara aktif bahkan pada usia mereka yang berada di bawah ketentuan yang direkomendasikan, yakni setidaknya 13 tahun. Mereka juga cenderung mencari informasi melalui medsos dibandingkan dengan generasi sebelum mereka–yang lebih tua termasuk guru, yang melakukannya melalui mesin pencari seperti Google Search maupun Bing.


Dalam hal ini, terdapat satu titik yang menjadi perhatian khusus bagi pendidik yakni terkait pemilihan sumber rujukan pengetahuan yang dilakukan siswa di medsos. Pada dasarnya, Internet menawarkan akses tak terbatas ke berbagai rujukan. Sekarang, siapa pun dapat membagikan dan mempublikasikan informasi secara bebas dalam berbagai bentuk media apa pun sesuai yang dikehendakinya. Artinya, tidak semua informasi yang tersedia di medsos memiliki kualitas yang dapat diandalkan. Maka, penting bagi pengguna Internet (guru dan siswa) untuk memastikan sumber informasi yang diperolehnya berasal dari institusi atau individu yang memiliki kewenangan di bidangnya. Terkadang juga terdapat adanya kepentingan tertentu yang tersirat dalam sebuah informasi. Hal tersebut berpotensi memengaruhi objektivitas informasi. 


Sementara itu, siswa–dengan keterbatasan pengalaman dan keterampilan literasi digital, rentan terhadap misinformasi dan sumber yang tidak kredibel. Di sinilah peran guru sebagai filter informasi menjadi vital. 


Jika diperlukan, guru dapat melakukan koreksi terhadap informasi yang tidak akurat. Dengan berpartisipasi aktif di platform digital–seperti halnya para siswa, guru bisa mendampingi mereka dalam kegiatan pembelajaran melalui dunia maya, melakukan klarifikasi atas informasi yang keliru, serta memberikan sumber belajar yang valid. Guru tidak hanya berfungsi sebagai penyampai materi di kelas, tetapi juga sebagai penuntun yang membantu siswa berselancar di lautan informasi, memastikan bahwa sumber yang digunakan relevan, akurat, dan koheren dengan tujuan pembelajaran. Sebagai verifikator, guru bertanggung jawab untuk memeriksa keabsahan dan kredibilitas sumber informasi sebelum merekomendasikannya kepada pemelajar. 


Dengan melakukan verifikasi tersebut, guru juga membantu siswa dalam hal mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan mereka untuk membedakan informasi yang valid dan yang menyesatkan (hoaks). Pada dasarnya, ini merupakan dua kompetensi wajib yang menjadi bekal dasar bagi para siswa dalam menghadapi era tanpa batas saat ini atau di masa yang akan datang.  


2) Guru sebagai Pembuat Konten

Selain memverifikasi, peran utama guru adalah sebagai pembuat konten pembelajaran. Dalam hal ini, guru harus mampu menyusun dan menyajikan informasi yang akan dijadikan sebagai salah satu rujukan pengetahuan siswa, dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pemelajarnya. Guru perlu juga memastikan bahwa materi yang disampaikan tidak hanya informatif tetapi juga disajikan dalam upaya memfasilitasi daya tangkap (pemahaman) dan daya ingat siswa. 


Untuk itu, guru perlu melakukan penyederhanaan informasi yang hendak disampaikannya di medsos tanpa mengorbankan esensi materi dan tetap berpegang pada kurikulum. Dalam rangka menciptakan pengalaman belajar yang lebih interaktif dan menarik bagi siswa, guru-bisa bekerja sama dengan praktisi multimedia di sekolah, dapat menggabungkan berbagai bentuk media, seperti teks, gambar, audio, dan video.  


Perkembangan fitur medsos sebenarnya telah memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman, metode pengajaran, dan materi edukatif dengan rekan sejawat maupun dengan para siswa. Hal ini dapat meningkatkan kolaborasi dan inovasi dalam dunia pendidikan.


Baca juga: Tak hanya siswa, guru pun perlu aktif di media sosial. Mengapa?


Literasi Digital dan Tantangan Implementasi

Untuk menjalankan kedua peran tersebut–sebagai verifikator informasi sekaligus sebagai pembuat konten, guru perlu memiliki literasi digital yang mumpuni. Literasi digital mencakup kemampuannya untuk menggunakan teknologi secara efektif dan memahami etika digital. Guru berperan penting dalam meningkatkan literasi digital siswa. Hal ini sejalan dengan peran guru sebagai navigator yang selayaknya mengarahkan siswa pada penggunaan teknologi digital–termasuk penggunaan medsos, yang lebih bermakna dan bertujuan. 


Namun demikian, terdapat beberapa tantangan dalam implementasi kedua peran utama guru di medsos tersebut, seperti keterbatasan waktu karena jadwal yang padat, akses yang tidak memadai terhadap sumber daya untuk verifikasi informasi, dan perkembangan teknologi yang pesat yang menuntut guru untuk terus memperbarui keterampilan dan pengetahuan mereka dalam literasi digital. Untuk mengatasi tantangan ini, tentunya diperlukan dukungan dari institusi pendidikan dalam bentuk pelatihan literasi digital bagi guru, penyediaan sumber daya yang memadai, dan pengaturan beban kerja yang memungkinkan guru untuk menjalankan peran mereka dengan optimal.


Pada akhirnya, kehadiran guru di medsos juga menuntut mereka untuk selalu bersikap bijak dan profesional saat berinteraksi, menjaga etika, dan memastikan bahwa konten yang dibagikan sesuai dengan nilai-nilai pendidikan. 


Transformasi peran guru dalam era digital menuntut keseimbangan antara adaptasi teknologi dan pemeliharaan esensi pendidikan. Fenomena "guru badut" dan kehadiran guru di media sosial merupakan refleksi dari tantangan yang dihadapi pendidik saat ini. Dengan pendekatan yang bijak dan profesional, saya yakin guru dapat memanfaatkan teknologi dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan tanpa mengorbankan substansi pembelajaran.

Gunakan format APA berikut untuk mengutip tulisan ini:
Prayoga, E. A. (2025, January 12). Dilema Guru Badut: Antara Tuntutan Administratif dan Pendidikan di Era Digital. Blog Elga Ahmad. Diakses pada [tuliskan tanggal akses], dari https://blog.elga-ahmad.com/2025/01/dilema-guru-badut-tuntutan-pendidikan-era-digital.html.


Kapsul video kini menjadi media pembelajaran yang dianggap penting penggunaannya dalam dunia pendidikan. Dirancang agar singkat, tepat sasar...

Kapsul video kini menjadi media pembelajaran yang dianggap penting penggunaannya dalam dunia pendidikan. Dirancang agar singkat, tepat sasaran, dan padat informasi, format ini memungkinkan penyampaian materi secara ringkas dan bisa menarik perhatian para pemelajar. Kapsul video adalah sebuah rangkaian audiovisual yang pendek dan terfokus, yang dapat diintegrasikan ke dalam berbagai konteks pembelajaran untuk mengilustrasikan atau memperdalam suatu konsep.


kapsul video
Foto oleh Pixabay

Selain itu, Eduscol menekankan sifat penggunaan kapsul video yang begitu fleksibel. Kapsul video memungkinkan pengajar untuk mendiversifikasi bahan ajar dengan menyajikan konten yang dinamis dan interaktif. Di era informasi yang serba cepat ini, kapsul video bisa menjadi solusi efektif untuk mentransfer pengetahuan secara ringkas dan berbobot.


Lebih jauh lagi, Frédéric Auger pada situs webnya yang khusus membahas kapsul video menunjukkan bagaimana format ini juga dapat digunakan oleh siswa untuk mempresentasikan proyek atau merangkum konsep atau materi tertentu yang kompleks. Pendekatan partisipatif ini mendorong kemandirian dan kreativitas para pemelajar dengan melibatkan mereka secara aktif dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, kapsul video tidak hanya berfungsi sebagai media penyampaian informasi, melainkan juga sebagai sarana ekspresi dan interaksi.


Dalam konteks pedagogis, sebuah dokumen yang disusun oleh La Rochelle Université mengungkapkan berbagai manfaat yang ditawarkan oleh kapsul video ini. Dokumen tersebut menyoroti bahwa media pembelajaran ini bisa mempermudah proses mengingat, memungkinkan peninjauan ulang materi setiap waktu, dan menyesuaikannya dengan kecepatan belajar masing-masing individu (pemelajar). Selain itu, penggunaan kapsul video juga mengundang refleksi mendalam mengenai metode pengajaran, dengan menempatkan siswa sebagai pusat dari proses interaktif.


Keunggulan utama dari kapsul video adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi secara ringkas tanpa mengurangi esensi dari materi tersebut. Dalam beberapa menit, sebuah konsep dapat diperkenalkan, sebuah fenomena dapat diilustrasikan, atau rangkaian pelajaran dapat diringkas dengan cara yang efektif. Hal ini memungkinkan para pendidik untuk memperbarui pendekatan pengajaran mereka dan menyesuaikan materinya dengan tuntutan para pemelajar yang semakin melek digital.


Selain itu, kapsul video menawarkan fleksibilitas besar, baik dalam proses pembuatannya maupun dalam distribusinya. Media ajar ini dapat digunakan di dalam kelas, diintegrasikan ke dalam blog pendidikan, ataupun dibagikan melalui media sosial untuk menjangkau khalayak yang lebih luas. Format ini sejalan dengan konsep pembelajaran kolaboratif dan berkelanjutan, yaitu ketika informasi dapat diakses kapan saja.


Baca juga: Tentang Podcast


Dengan kata lain, kapsul video muncul sebagai sebuah alat pembelajaran yang modern dan serbaguna, yang mampu mengubah pengalaman belajar/mengajar. Dengan menggabungkan keunggulan dalam hal ringkasan informasi, aksesibilitas, dan interaktivitas, media ajar ini mampu memperkaya praktik pengajaran serta melibatkan siswa secara lebih aktif dalam proses pembelajaran mereka. Dalam menghadapi tantangan pendidikan saat ini, mengadopsi alat digital semacam ini bukan hanya merupakan inovasi, tetapi juga sebuah keharusan untuk memenuhi harapan pemelajar yang mendambakan konten yang menarik dan tersusun dengan baik.


Berikut adalah beberapa sumber bacaan (dalam bahasa Prancis) terkait tema kapsul video: 

Tan Malaka adalah salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang namanya melegenda dan dikenal luas. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasi...

Tan Malaka adalah salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang namanya melegenda dan dikenal luas. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 53 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963. Sepanjang hidupnya, Tan Malaka menentang ketidakadilan dan kolonialisme, yang membuatnya menjadi buronan Belanda. Ia menghabiskan hampir setengah hidupnya dalam pelarian, berpindah-pindah, dan menggunakan berbagai nama samaran untuk menghindari penangkapan. Buku ini mengungkap kecerdasan dan kegigihan Tan Malaka dalam melawan kolonialisme. 

Dapatkan bukunya di Gramedia Online.

Sumber: Gramedia

Sinopsis
Ia orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya “Bapak Republik Indonesia”. Sukarno menyebutkannya “seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.
Tan melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Soekarno pernah menulis testamen politik yang berisi wasiat penyerahan kekuasaan kepada empat nama-salah satunya Tan Malaka-apabila Bung Karno dan Bung Hatta mati atau ditangkap. “...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.” Kata Sukarno. Tapi di masa pemerintahan Soekarno pula Tan dipenjara dua setengah tahun tanpa pengadilan.
Kisah Tan Malaka adalah satu dari empat cerita tentang pendiri republik: Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir. Diangkat dari edisi khusus Majalah Berita Mingguan Tempo sepanjang 2001-2009, serial buku ini mereportase ulang kehidupan keempatnya. Mulai dari pergolakan pemikiran, petualangan, ketakutan hingga kisah cinta dan cerita kamar tidur mereka.

Keterangan
Jumlah Halaman : 208
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tanggal Terbit : 25 Jul 2016
Berat : 0.4 kg
ISBN : 9786024241148
Lebar : 16.0 cm
Panjang : 24.0 cm
Bahasa : Indonesia
Cover : Soft Cover

Klik Gramedia Online untuk melakukan pembelian buku ini.

Artikel saya di The Conversation Indonesia (TCID) , membahas urgensi mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia kepada ekspatriat atau tenaga k...

Artikel saya di The Conversation Indonesia (TCID), membahas urgensi mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia kepada ekspatriat atau tenaga kerja asing (TKA) yang tinggal bekerja di dalam negeri kita. Hal ini terutama dilihat kepentingannya dalam hal posisi bahasa Indonesia sebagai pilar identitas dan dalam rangka penguatan jati diri bangsa Indonesia di mata dunia. 


Adapun setidaknya terdapat tiga tantangan yang boleh jadi dihadapi ekspatriat dalam mempelajari bahasa Indonesia, yakni:

  • Kecemasan berbahasa: Kecemasan berbahasa merupakan perasaan tidak nyaman atau ketakutan yang terkait dengan penggunaan bahasa oleh seorang individu. Anggapan tersebut muncul karena pembicara berpikir bahwa ujarannya tidak sesuai dengan norma yang seharusnya atau yang diharapkan oleh lawan bicara. Masalah ini dapat berdampak pada kepercayaan diri dan penguasaan bahasa setempat.
  • Kurangnya motivasi: Banyak ekspatriat kurang memiliki motivasi intrinsik untuk belajar bahasa, terutama ketika mereka terus menerus bekerja dalam lingkup "komunitas ekspatriat" saja, yang dapat mengurangi paparan terhadap bahasa lokal. Keadaan ini membatasi kemahiran mereka dan berdampak pada kualitas interaksi profesional dengan pekerja dalam negeri. 
  • Keterbatasan waktu: Ekspatriat mungkin akan punya waktu yang terbatas, sehingga faktor ini akan memengaruhi kapasitas mereka untuk menghadiri kelas pelatihan bahasa maupun untuk berinteraksi dengan warga setempat. Maka, pelatihan bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) sebaiknya diberikan sebelum TKA tiba di Indonesia, di negara asalnya bila memungkinkan. Selain oleh lembaga swasta atau pengajar lepas, kursus BIPA biasanya diselenggarakan juga oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di beberapa negara. 

Membangun wibawa Indonesia sebagai bangsa dan negara yang memiliki martabat tinggi di mata dunia, sebaiknya sejalan dengan penguatan rasa bangga terhadap bahasa Indonesia.


Untuk membaca artikel saya selengkapnya di TCID, silakan klik pada tautan ini


Jika kamu perlu mengutip tulisan ini, gunakan format APA pada daftar pustaka/referensi kamu, sebagai berikut:
Prayoga, E. A. (2024, November 8). Tantangan Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Ekspatriat. Blog Elga Ahmad. Diakses pada [tuliskan tanggal akses], dari https://blog.elga-ahmad.com/2024/11/tantangan-pengajaran-bipa.html.



Seperti juga pada tahun sebelum-sebelumnya, makan malam bersama merupakan sebuah tradisi di lingkungan tempat kerja saya menjelang akhir tah...

Seperti juga pada tahun sebelum-sebelumnya, makan malam bersama merupakan sebuah tradisi di lingkungan tempat kerja saya menjelang akhir tahun (pada bulan Desember) atau pada awal tahun ajaran (bulan Agustus atau September). 


Ini juga biasanya menjadi saat yang tepat untuk memberikan hadiah kecil sebagai bentuk apresiasi kepada orang tertentu di tim kerja kami atau setidaknya kepada sekretaris. Dia memang yang biasanya juga mengurus keperluan untuk penyelenggaraan acara ini; seperti menawarkan opsi tanggal, memilih restoran, melakukan reservasi, menyebarkan undangan, menyusun acara, dan sebagainya. Untuk itu, antarkolega, kami secara kolektif akan patungan mengumpulkan sumbangan dan membelikannya kado. 


sumber: wonderbox.fr

Adapun di Swiss, sebenarnya, besaran kontribusi atau patungan untuk pembelian hadiah ini biasanya beragam disesuaikan dengan konteks acara, hubungan kerja, jumlah kolega dalam satu tim, dan lain-lain. Berikut ini panduan sederhana berdasarkan pengalaman pribadi: 

  • Hadiah kecil dari tim kecil (ulang tahun, perayaan akhir tahun, dsb.) : mulai CHF 10 s.d. 30 setiap orangnya. 
  • Hadiah untuk perayaan besar (kolega yang keluar/pindah kerja, kelahiran anak, dsb.) : mulai CHF 30 s.d. 50 per orang
  • Hadiah untuk atasan : bisa hingga CHF 50 atau 100 per kolega jika jumlah orangnya sedikit.