Elga-Ahmad

Blog pribadi. Seorang pencinta bahasa & kopi hitam ☕
#Didactique #FLE #BIPA #Interculturel #Grammaire

Di era internet saat ini, media sosial (medsos) berfungsi sebagai katalisator yang nyata bagi praktik budaya. #BookTok adalah salah satu fe...

#BookTok: Ketika para penggemar buku menghidupkan kembali kegiatan membaca

Di era internet saat ini, media sosial (medsos) berfungsi sebagai katalisator yang nyata bagi praktik budaya. #BookTok adalah salah satu fenomena terbaru. Gerakan yang dimulai di TikTok dan cepat menyebar ke Instagram ini telah dianggap mampu menyatukan para pencinta buku dan memotivasi orang-orang untuk membaca. #BookTok muncul seolah angin segar, memberikan makna baru pada hubungan antara buku dan pembacanya di saat anak-anak muda sekarang tampaknya semakin menjauh dari kegiatan membaca buku.

Booktok
Foto oleh Yan Krukau

Revolusi digital dalam kritik sastra

Secara tradisional, kritik sastra telah menjadi milik eksklusif segelintir profesi–jurnalis, akademisi, atau kritikus spesialis–yang menilai karya berdasarkan kriteria yang sering dianggap elitis. Namun, berkat munculnya jejaring sosial, kritik sastra kini telah mulai didemokratisasi. Para penggemar buku sastra yang tidak memiliki latar belakang keilmuan atau pelatihan dalam bidang kritik bisa berbagi kegemaran mereka, apa yang mereka rasakan, dan bahkan kekecewaan mereka terhadap buku-buku yang telah mereka baca. 

Tren ini memunculkan tanda pagar (tagar) #BookTok–sebuah kependekan dari “Book” (Buku) dan “TikTok”. Tagar adalah simbol “#” yang digunakan untuk mengelompokkan konten di medsos. Misalnya, #BookTok adalah kategori postingan tentang buku. Tagar ini memudahkan orang mencari dan menemukan konten serupa.

Singkatnya, #BookTok adalah sebuah komunitas di medsos yang menajdi tempat para pembaca mengulas buku favorit mereka. Video-video yang diposting dengan tagar #BookTok ini menunjukkan reaksi otentik, sering kali diwarnai dengan emosi, yang mendorong penontonnya untuk (kembali) menemukan buku atau mempelajari genre sastra yang sebelumnya mereka abaikan atau tidak ketahui.  
Revolusi digital ini rupanya telah juga ditelaah dalam sejumlah penelitian. Misalnya, Dos Santos (2023) menunjukkan bahwa fenomena #BookTok telah mendobrak kode-kode tradisional kritik sastra, yang memungkinkan opini-opini yang sebelumnya terpinggirkan untuk bisa disuarakan dan ternyata juga punya pengaruh terhadap angka penjualan buku di pasaran. Para kreator muda ini mendefinisikan ulang peran kritikus dengan menggabungkan semangat, keaslian, dan spontanitas. 


Dampak #BookTok terhadap kebiasaan membaca anak muda

Medsos kerap kali disalahkan atas penyebab menurunnya minat baca. Namun, #BookTok justru membuktikan sebaliknya bahwa media digital juga dapat menjadi sarana untuk mempromosikan budaya literasi. Terutama di TikTok dan Instagram, video-video tentang sastra tidak hanya menawarkan ringkasan atau ulasan formal: video-video ini mengungkap pula emosi, pengalaman pribadi, dan keajaiban membaca. 

Video yang menunjukkan seorang kreator konten yang tengah menangis setelah membaca sebuah novel atau kreator konten lainnya yang membagikan hal-hal yang baru ia temukan setelah membaca sebuah buku, telah menciptakan efek riak yang kuat di medsos. Seperti yang ditunjukkan oleh Asplund et al. (2024) dalam penelitian mereka yang diterbitkan di Language and Education, cara komunikasi ini menumbuhkan komitmen afektif yang dapat mengubah membaca menjadi aktivitas kolektif dan menyenangkan. 

Terlebih lagi, format visual yang pendek dan singkat dari konten ini sangat sesuai dengan generasi sekarang, yang terbiasa dengan stimulasi layar yang cepat, bergulir dari satu video singkat ke video lainnya. Pengguna muda, yang sering dikritik karena lemahnya tingkat konsentrasi mereka, justru dapat benar-benar menemukan  jati diri mereka melalui video-video semacam ini. 

Format ini menciptakan komunitas virtual yang membuat setiap pengikutnya merasa terlibat dan terdorong untuk turut berbagi pengalaman membaca mereka. Kulkarni (2024) menekankan bahwa dampak dari konten ini terletak pada kemampuannya untuk memunculkan reaksi secara simultan dan langsung (real time), bahkan viral, sehingga mendemokratisasi rekomendasi buku-buku sastra.


Penggerak ekonomi dan budaya untuk penerbitan

Di luar aspek budaya, #BookTok juga dipandang sebagai pembangkit ekonomi bagi industri perbukuan. Sejumlah penerbit kini telah menyadari bahwa video viral di medsos dapat mengubah sebuah buku biasa menjadi buku terlaris dalam waktu semalam. Kemitraan berbayar antara penerbit dan influencer sastra mulai terjalin lumrah. 

Studi terbaru bahkan menunjukkan korelasi positif antara visibilitas sebuah karya di #BookTok dan peningkatan penjualan buku tersebut. Novel-novel yang sebelumnya kesulitan untuk menemukan publiknya telah berbalik arah berkat video sederhana di TikTok. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemasaran digital yang ditargetkan dengan baik dapat merevitalisasi karya-karya yang terlupakan atau kurang dihargai sebelumnya. 

Namun, kesuksesan komersial ini menimbulkan beberapa pertanyaan tentang masa depan kritik sastra. Di satu sisi, keaslian dan semangat para kreator memberikan kontribusi tersendiri pada kebangkitan gairah membaca di kalangan anak muda. Di sisi lain, komersialisasi yang berlebihan dari praktik-praktik ini dapat mengarah pada standarisasi rekomendasi, yang merugikan analisis kritis yang sebenarnya. Oleh sebab itu, Dos Santos (2023) tetap menyarankan perlunya memikirkan ulang tentang peran kritikus sastra. Terlebih lagi, pada saat ini ketika penilaian seringnya diukur hanya berdasarkan jumlah 'suka' (Like) dan jumlah yang dibagikan, alih-alih berdasarkan argumen sastra yang mendalam.

Fenomena #BookTok adalah ilustrasi sempurna dari transformasi membaca di era digital. Dengan memberikan suara kembali kepada para pencinta buku dan menciptakan komunitas sastra yang dinamis di TikTok dan Instagram, hal ini membantu memerangi penurunan minat baca di kalangan anak muda. Video-video viral yang penuh dengan emosi dan rekomendasi spontan ini menawarkan sebuah model baru dalam dunia kritik sastra, yakni menjadi sebuah bidang yang kini lebih mudah diakses dan diikuti oleh berbagai kalangan.

Namun, meskipun #BookTok tampaknya menjadi pendorong dalam meningkatkan minat baca dan secara positif memengaruhi angka penjualan buku, penting untuk tetap waspada terhadap komodifikasi–proses mengubah sesuatu, seperti ide, budaya, atau pengalaman, menjadi barang yang bisa diperjualbelikan–dan kedangkalan konten tertentu. Masa depan kritik sastra tidak terletak pada pilihan antara tradisi dan modernitas, tetapi dalam menemukan keseimbangan yang tepat, yaitu ketika teknologi digital mampu memperkaya dan bukannya memiskinkan pengalaman membaca setiap orang. 

Menghadapi transformasi ini, para pemain di dunia sastra–penerbit, pustakawan, guru, dan kritikus–perlu bekerja sama dengan para influencer baru untuk membangun jembatan antara tradisi kritis dan inovasi digital. Dengan cara ini, #BookTok dapat memberikan kontribusi nyata dalam mendamaikan generasi muda digital dengan kesenangan membaca, sambil tetap melestarikan analisis sastra yang sebenarnya.


Referensi
  • Dos Santos, I. (2023). #BookTok : vers un renouvellement de la prescription littéraire. [Mémoire de Master, CELSA – Sorbonne Université]. HAL. https://dumas.ccsd.cnrs.fr/dumas-04429407  
  • Asplund, S. B., Ljung Egeland, B., & Olin-Scheller, C. (2024). Sharing is caring: young people’s narratives about BookTok and volitional reading. Language and Education, 38(4), 635–651. https://doi.org/10.1080/09500782.2024.2324947 
  • Kulkarni, S. (2024). Getting a feel for BookTok: Understanding affect on TikTok's bookish subculture. In J. Dera, & R. van Steensel (Eds.), Lezen in Beweging: Ontwikkelingen in leesbevordering, lees- en literatuuronderwijs, digitaal lezen en toetsing (pp. 75-86). (Stichting Lezen Reeks). Eburon.

0 komentar: