Pada era digital saat ini yang ditandai dengan melimpahnya informasi di Internet, peran guru mengalami transformasi yang signifikan. Dua fenomena yang mencuat adalah munculnya "guru badut" dan pentingnya kehadiran guru di media sosial (medsos), seperti di Instagram, TikTok, YouTube, dll.

Meminjam sebutan yang dipakai Iman Zanatul Haeri dalam artikelnya di Kompas (28 Desember 2024), “Guru badut” merupakan istilah kritikan terhadap fenomena bahwa keceriaan dalam konten pembelajaran yang diunggah guru melalui akun medsos, menjadi sekadar reka adegan. Mirisnya, hal ini dikerjakan demi tuntutan administrasi guru semata, bukan sebagai metode pedagogis yang efektif untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar. Alhasil, kegiatan ini dianggap telah mengorbankan substansi pendidikan yang mereduksi peran guru dengan menjadikannya sebagai sosok penghibur–layaknya badut.
Tulisan opini saya ini hendak menyoroti tantangan yang dihadapi guru sebagai pendidik dalam menyesuaikan dirinya di tengah perkembangan medsos yang pesat dan perubahan perilaku siswa yang dinamis pada waktu yang bersamaan. Pendekatan yang terlalu berfokus pada hiburan tanpa substansi dapat merugikan proses pembelajaran, sementara mengabaikan medsos dapat membuat guru tertinggal dalam memanfaatkan teknologi untuk kepentingan pendidikan.
Dua Peran Utama Guru di Media Sosial
Terlepas dari sisi “guru badut” yang mengharuskan para pendidik untuk juga membagikan kegiatannya di jagat maya dengan tagar #MerdekaBelajar, di sisi lain, sebenarnya kehadiran para guru di berbagai jejaring sosial saat ini memang dianggap krusial dalam konteks pendidikan modern. Tak hanya tempat untuk berjoget di depan kamera, para guru dapat memandang medsos sebagai sebuah ruang kreativitas yang baru.
1) Guru sebagai Verifikator Informasi
Saat ini, kebanyakan siswa terdaftar dan menggunakan medsos secara aktif bahkan pada usia mereka yang berada di bawah ketentuan yang direkomendasikan, yakni setidaknya 13 tahun. Mereka juga cenderung mencari informasi melalui medsos dibandingkan dengan generasi sebelum mereka–yang lebih tua termasuk guru, yang melakukannya melalui mesin pencari seperti Google Search maupun Bing.
Dalam hal ini, terdapat satu titik yang menjadi perhatian khusus bagi pendidik yakni terkait pemilihan sumber rujukan pengetahuan yang dilakukan siswa di medsos. Pada dasarnya, Internet menawarkan akses tak terbatas ke berbagai rujukan. Sekarang, siapa pun dapat membagikan dan mempublikasikan informasi secara bebas dalam berbagai bentuk media apa pun sesuai yang dikehendakinya. Artinya, tidak semua informasi yang tersedia di medsos memiliki kualitas yang dapat diandalkan. Maka, penting bagi pengguna Internet (guru dan siswa) untuk memastikan sumber informasi yang diperolehnya berasal dari institusi atau individu yang memiliki kewenangan di bidangnya. Terkadang juga terdapat adanya kepentingan tertentu yang tersirat dalam sebuah informasi. Hal tersebut berpotensi memengaruhi objektivitas informasi.
Sementara itu, siswa–dengan keterbatasan pengalaman dan keterampilan literasi digital, rentan terhadap misinformasi dan sumber yang tidak kredibel. Di sinilah peran guru sebagai filter informasi menjadi vital.
Jika diperlukan, guru dapat melakukan koreksi terhadap informasi yang tidak akurat. Dengan berpartisipasi aktif di platform digital–seperti halnya para siswa, guru bisa mendampingi mereka dalam kegiatan pembelajaran melalui dunia maya, melakukan klarifikasi atas informasi yang keliru, serta memberikan sumber belajar yang valid. Guru tidak hanya berfungsi sebagai penyampai materi di kelas, tetapi juga sebagai penuntun yang membantu siswa berselancar di lautan informasi, memastikan bahwa sumber yang digunakan relevan, akurat, dan koheren dengan tujuan pembelajaran. Sebagai verifikator, guru bertanggung jawab untuk memeriksa keabsahan dan kredibilitas sumber informasi sebelum merekomendasikannya kepada pemelajar.
Dengan melakukan verifikasi tersebut, guru juga membantu siswa dalam hal mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan mereka untuk membedakan informasi yang valid dan yang menyesatkan (hoaks). Pada dasarnya, ini merupakan dua kompetensi wajib yang menjadi bekal dasar bagi para siswa dalam menghadapi era tanpa batas saat ini atau di masa yang akan datang.
2) Guru sebagai Pembuat Konten
Selain memverifikasi, peran utama guru adalah sebagai pembuat konten pembelajaran. Dalam hal ini, guru harus mampu menyusun dan menyajikan informasi yang akan dijadikan sebagai salah satu rujukan pengetahuan siswa, dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pemelajarnya. Guru perlu juga memastikan bahwa materi yang disampaikan tidak hanya informatif tetapi juga disajikan dalam upaya memfasilitasi daya tangkap (pemahaman) dan daya ingat siswa.
Untuk itu, guru perlu melakukan penyederhanaan informasi yang hendak disampaikannya di medsos tanpa mengorbankan esensi materi dan tetap berpegang pada kurikulum. Dalam rangka menciptakan pengalaman belajar yang lebih interaktif dan menarik bagi siswa, guru-bisa bekerja sama dengan praktisi multimedia di sekolah, dapat menggabungkan berbagai bentuk media, seperti teks, gambar, audio, dan video.
Perkembangan fitur medsos sebenarnya telah memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman, metode pengajaran, dan materi edukatif dengan rekan sejawat maupun dengan para siswa. Hal ini dapat meningkatkan kolaborasi dan inovasi dalam dunia pendidikan.
Baca juga: Tak hanya siswa, guru pun perlu aktif di media sosial. Mengapa?
Literasi Digital dan Tantangan Implementasi
Untuk menjalankan kedua peran tersebut–sebagai verifikator informasi sekaligus sebagai pembuat konten, guru perlu memiliki literasi digital yang mumpuni. Literasi digital mencakup kemampuannya untuk menggunakan teknologi secara efektif dan memahami etika digital. Guru berperan penting dalam meningkatkan literasi digital siswa. Hal ini sejalan dengan peran guru sebagai navigator yang selayaknya mengarahkan siswa pada penggunaan teknologi digital–termasuk penggunaan medsos, yang lebih bermakna dan bertujuan.
Namun demikian, terdapat beberapa tantangan dalam implementasi kedua peran utama guru di medsos tersebut, seperti keterbatasan waktu karena jadwal yang padat, akses yang tidak memadai terhadap sumber daya untuk verifikasi informasi, dan perkembangan teknologi yang pesat yang menuntut guru untuk terus memperbarui keterampilan dan pengetahuan mereka dalam literasi digital. Untuk mengatasi tantangan ini, tentunya diperlukan dukungan dari institusi pendidikan dalam bentuk pelatihan literasi digital bagi guru, penyediaan sumber daya yang memadai, dan pengaturan beban kerja yang memungkinkan guru untuk menjalankan peran mereka dengan optimal.
Pada akhirnya, kehadiran guru di medsos juga menuntut mereka untuk selalu bersikap bijak dan profesional saat berinteraksi, menjaga etika, dan memastikan bahwa konten yang dibagikan sesuai dengan nilai-nilai pendidikan.
Transformasi peran guru dalam era digital menuntut keseimbangan antara adaptasi teknologi dan pemeliharaan esensi pendidikan. Fenomena "guru badut" dan kehadiran guru di media sosial merupakan refleksi dari tantangan yang dihadapi pendidik saat ini. Dengan pendekatan yang bijak dan profesional, saya yakin guru dapat memanfaatkan teknologi dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan tanpa mengorbankan substansi pembelajaran.

Gunakan format APA berikut untuk mengutip tulisan ini:
Prayoga, E. A. (2025, January 12). Dilema Guru Badut: Antara Tuntutan Administratif dan Pendidikan di Era Digital. Blog Elga Ahmad. Diakses pada [tuliskan tanggal akses], dari https://blog.elga-ahmad.com/2025/01/dilema-guru-badut-tuntutan-pendidikan-era-digital.html.
0 komentar: